Monday, 17 March 2014

Kumala


            Sore ini tepat disebuah coffee shop bernama Backyard Coffee di daerah bintaro sektor 7  yang bernuansa minimalis dengan sofa dan kursi-kursi karyu serta foto-foto dan cd yang terpajang di dinding membuat aku semakin menikmati detik demi detik suasana ditempat ini. Alunan lagu kesukaan yang selalu diputar ditempat ini menambah rasa nyaman untuk terus berlama-lama disini. Coffee shop ini milik salah satu band Indonesia Maliq & Dessentials. Band tersebut adalah band favorit aku dengan Kumala dan itu sebabnya aku memutuskan untuk bertemu di tempat ini.
Jam tanganku telah menunjukkan pukul 4 sore namun belum juga aku melihatnya, sambil menikmati lychee tea yang telah aku pesan  mataku terus bergerak kesana kemari memastikan dirinya yang seharusnya telah datang. Ditempat ini hanya ada aku dan dua orang yang sepertinya sedang meeting. Suasana hening walaupun sesekali terdengar kedua orang itu sedang sibuk memastikan kapan tanggal yang tepat untuk memulai event yang akan mereka laksanakan. Tiba-tiba kulihat  mobil berwarna putih berhenti didepan backyard coffee, mobil itu tak asing bagi ku benar saja tak lama seorang wanita berambut hitam sebahu berkaos polos berwarna putih dengan paduan jeans hitam dan flatshoes berwarna merah keluar dari mobil itu. Namanya Kumala, seperti biasa penampilannya selalu saja membuat aku terpesona akan kecantikannya. Kumala tak hanya cantik ia juga pintar semenjak smp hingga sma ia selalu mendapatkan gelar juara umum juga kepopulerannya disekolah karena aktif  di ekskul paduan suara. 

“Maaf al aku terlambat” katanya sambil menjabat tanganku dan mencium pipi kiri dan kanan ku. “Iya tak apa belum selama aku menantimu” tambahku. Kumala hanya tersenyum mendengar perkataanku barusan “ahhh ini lagu favorit ku” ucap Kumala kurasa ia ingin mengalihkan pembicaraan, pas sekali memang kedatangannya disambut dengan lagu untitled dari Maliq & Dessentials.
 “Iya aku ingat kau menyanyikannya dengan merdu sewaktu pentas seni sma dulu” lagi-lagi Kumala hanya tersenyum bibirnya yang tipis dibalut dengan lipstick berwarna pink soft membuatnya semakin terlihat sangat manis.
“Kamu hanya pesan ini?“ tanya Kumala padaku. “Aku menunggumu bukankah kita selalu memesannya bersamaan?” selalu saja aku ingin menikmati apapun bersamanya. “Ahhhh kamu ini masih saja begitu”. Lalu kami pun memesan dua cangkir kopi, aku memesan cappucinno dan Kumala memesan hot chocolate.
Detik demi detik kami habiskan untuk menikmati secangkir kopi sekaligus membahas semua yang telah kita lalui, aku tanpa Kumala dan Kumala tanpa aku. Ditengah perbincangan kami tiba-tiba terdengar suara panggilan telepon dari handphone Kumala.
“Hallo, ada apa?” …………… Kumala mengangkatnya.
Sekitar 10 menit Kumala menerima telepon entah dengan siapa ia berbicara yang aku tangkap ia memastikan akan tiba ditempat yang telah dijanjikan 1 jam lagi.
“Altaf, maaf aku harus pergi ada telepon mendadak, gak apa-apa kan kalau aku tinggal?” Kumala coba menerangkannya dengan penuh kelembutan. “Ohh oke, santai aja” sahut ku sambil melemparkan senyum. Aku tak bertanya apa yang membuatnya harus tiba-tiba meninggalkan pertemuan ini.
“Aku pamit ya al, next time kita atur pertemuan lagi” ucap Kumala sambil masuk ke dalam mobilnya. Aku hanya memandangi dari samping mobilnya sambil terus tersenyum pertanda aku sangat berterima kasih atas kehadirannya hari ini. Walaupun ia meninggalkan separuh pertemuan kami.
***

Hari ini aku berniat untuk pergi ke salah satu florist untuk membeli bunga dan  di kirimkan kepada Kumala. Jam dinding ku telah berderu kencang itu berarti waktu sudah menunjukkan pukul 1 siang. Aku segera bersiap-siap, siang ini di luar hujan aku memutuskan untuk memakai sweater berwarna coklat polos yang tergantung di lemari.

“Ma, Altaf pergi dulu yaaaa..” sambil mencium kening mama dan mengambil sepotong roti di meja. “Jangan pulang sore-sore ya hari ini papa pulang nanti malam kita makan diluar” mama berbisik di telinga ku. “Aduuhh maa geli ihhh pake bisik-bisik segala, iyaa bentar kok cuma ke toko bunga habis itu pulang” sambil berlalu aku menuju garasi mobil. Hujan sedang sering menghamipri kota kami entah kenapa mungkin karena semua penghuninya sedang merindukan basuhan basah yang menghangatkan suasana.
Setelah sampai di florist aku segera memilih bunga yang akan aku kirim kepada Kumala. “Mas mau cari bunga apa?” Tanya salah seorang penjaga florist itu kepada ku. “Emmm… aku juga gak tau kira-kira kamu bisa bantu gak?” jawab ku. “Untuk diberikan kepada siapa? Teman? mama? Atau  pacar ?” penjaga itu bertanya lagi. “Buat seseorang dibilang pacar juga bukan..” ujar ku sambil tertawa.

“Pasti masih pedekate ya mas, kira-kira orangnya seperti apa?” “orangnya cantik, lembut, sopan, rambutnya bagus, suaranya juga merdu, matanya coklat……” “mas..mas..” tiba-tiba saja tangan penjaga itu menepuk-nepuk bahuku. “ohhh maaf jadi ngelamun” “kayaknya mas nya suka banget yah sama mbak nya sampe bikin ngelamun gitu” sambil tertawa dan  membuat matanya semakin sipit.
Penjaga florist itu segera menunjukkan beberapa mawar dengan macam warna yang berbeda. “Kalau dengar dari gambaran mas tentang mbaknya kayaknya mawar warna merah muda ini cocok untuk dia mas”. Mawar berwarna merah muda itu melambangkan kebahagiaan dan kelembutan sama seperti Kumala ia wanita yang lembut serta selalu membuat aku merasa bahagia karena telah dipertemukan dengannya.
“Iya mbak saya mau yang ini ya, nanti dikirim ya mbak alamatnya ini udah aku tulis terus jangan lupa kartu ucapan ini juga ditaruh di bunganya” sambil menujukkan secarik kertas bertuliskan alamat rumah Kumala. Penjaga florist itu pun segera merangkai bungai yang telah aku pesan matanya terlihat sangat sipit ketika wajahnya serius merangkai sebuket bunga mawar untuk Kumala.
Akhirnya aku meninggalkan florist itu dan pulang kerumah. Aku harap Kumala bisa suka dengan bunga yang aku kirimkan. Sudah bisa ku bayangkan bibir tipisnya merekah dengan indah seindah bunga yang baru mekar.
***
Keesokan harinya aku menerima sebuah pesan singkat dari serorang wanita yang selalu saja membuatku tersenyum simpul ketika mendengar namanya. Ia ingin bertemu denganku, nampaknya bunga yang aku kirimkan kemarin telah diterimanya. Hari ini dia mengajakku bertemu di Backyard Coffee lagi. Sekitar jam 3 sore aku telah bersiap-siap menuju tempat yang akan mempertemukan kami berdua.
Sesampainya disana mobil putih telah terparkir didepan coffee shop favorit kami berdua ini. Aku pun segera masuk kedalam dan tentu saja disuatu sudut perempuan cantik itu telah menungguku. “Hei maaf kali ini kau yang harus menunggu” aku mencium pipi kanan dan kirinya tubuhnya wangi aroma parfum strawberry.
            “Altaf sejak kapan kamu suka kirimi aku bunga?” ia tersenyum. Kumala andai kamu tahu bunga itu ku beri untukmu sebagai tanda terima kasihku karena kau kembali ke kota ini. “ Thank you so much al, aku suka sekali warna bunganya” ia menatap dalam mataku. Aku bersyukur Kumala datang kembali ke kota ini setelah lulus sma dan akhirnya ia melanjutkan kuliah di Surabaya aku tidak lagi bertemu dengannya.

“Jadi kamu apa kabar al? kerjaan gimana? Terus keluarga sehat-sehat kan?”
“Nanyanya satu-satu dong cantik”
Kumala tertawa “Al..al masih aja kamu”. Sewaktu sekolah dulu aku sering memanggil Kumala dengan sebutan “Cantik”.
“Aku baik, mama sama papa juga Alhamdulillah sehat, kerjaan juga lancar cuma hati aku aja yang gak lancar mal semenjak ditinggal kamu”.
“Al.. kamu ini yaaa” ia hanya menggelengkan kepalanya.
“Kamu gimana jadinya, udah pasti kerja di Jakarta?’
“Iyaa aku di pindahin kesini al, seneng si karena bisa tinggal bareng sama keluarga lagi tapi kadang masih kangen juga sama Surabaya”
“Kangen sama kotanya apa ada yang dikangenin disana?”
“Banyaaak..yang pasti aku bakal kangen sama temen-temen, suasana Surabaya, makanannya, ahhh pokoknya semuanya”
“Tapi apa kamu gak kangen sama yang nunggu kamu di Jakarta?” aku memotong pembicaraan.

Kumala tak mengubris pertanyaanku ia hanya tersenyum dan hanya terus menikmati secangkir kopi yang dipesannya. Kemudian aku teringat akan sebuah pernyataanku dahulu sebelum ia pergi ke Surabaya. Aku berpesan padanya jikalau ia kembali akan ada yang selalu setia menantinya. Ku penuhi janjiku sampai akhirnya ia kembali ke Jakarta tak pernah aku menoleh pada wanita yang bahkan lebih cantik dari Kumala. Aku ini siapa untuknya kiranya tak penting bagiku menurutku aku janjikan dirikulah yang akan siap untuk direpotkan olehnya sudah menjadi kebahagiaanku. Karena dengan itu aku merasa dibutuhkan walaupun hanya berlandaskan rasa terima kasih.
            Semua gambar yang terpajang di dinding nampaknya tahu bahwa aku sangat menantikan hari ini. Hari dimana aku duduk berdua dengannya sambil berbincang-bincang dan tanpa ada yang menyuruhnya untuk lagi meninggalkan  pertemuan kami. Alunan lagu dan nyanyian kecil dari Kumala yang mengikuti lagu-lagu yang terdengar serasa lilin ditengah kegelapan.
Dering suara panggilan masuk….
Aku menerima telepon yang ternyata dari rekan kerjaku.

“Dari siapa? Kedengerannya suara cewek al? pacar ya?”
Aku setengah tertawa “sejak kapan ada yang gantiin kamu disini”.
Kumala terdiam. Ia sedikit menarik napas “Al kalaupun menurut kamu ga ada yang gantiin aku ditempat kamu tapi akan ada yang gantiin kamu ditempatku.”
Aku terkaget mendengar ucapan Kumala barusan “Ya itu kamu bukan aku Kumala”.
Wanita yang ada didepanku kini hanya mengaduk-ngaduk secangkir kopi miliknya entah apa yang ada dipikirannya.
“Altaf.. kalau ada satu nama seorang sahabat yang begitu baik disepanjang hidup aku itu cuma kamu.”
“Aku mau kamu lebih dari sekedar sahabatku cantik” Balasku.
            Kemudian hening untuk beberapa saat diantara kami. Kumala terlihat memencet nomer telepon aku tak tahu siapa yang sedang ingin ia hubungi.
“Namanya Bayu dia pacarku” Kumala memberikan ponselnya kepadaku.
            Aku mengambil ponselnya dan mematikan sambungannya “Kamu gak perlu kenalin siapapun”.
“Al tapi kamu gak bisa terus-terusan nunggu aku..kamu..”
“Kamu apa? Kamu mau aku cari pacar juga? Kumala dari dulu aku simpen perasaan ini baik-baik cuma buat kamu. Apa kamu pikir baru kali ini aku tau kamu punya pacar?”
            Matanya tak menatapku ia seperti ingin menepis segala perkataan yang akan aku ucapkan kepadanya.
“Kenapa si dua orang cowok sama cewek yang bersahabat gak bisa cuma punya perasaan sebagai sahabat aja dan gak lebih?.”
“Kamu tanya itu sama siapa? Sama aku? Gak ada yang pernah tau dan gak aka ada yang bisa menghalangi ketika cinta itu datang mal. Kalaupun aku bisa milih aku gak akan milih kamu yang jelas-jelas emang dari awal kita sahabatan dulu hanya anggap aku sebagai sahabat.”
“Al..cukup. Aku mau pulang sekarang” Kumala membereskan isi tasnya.
            Aku menahannya pergi “Duduk sebentar disini Kumala aku mau kamu denger semuanya, karena aku gak tau setelah kamu pergi dari sini aku masih bisa ketemu kamu lagi atau enggak.”

            Air matanya perlahan mulai jatuh entah apa yang membuatnya menangis, mungkin ia kasihan melihat seorang laki-laki sedang mengemis cinta kepadanya. Pengemis cinta yang menahun menaruh harap akan cintanya.
“Kumala, tadi kamu bilang aku adalah sahabatmu yang terbaik disepanjang hidupmu. Alasanmu membuatku semakin yakin bahwa hanya aku yang terbaik untukmu. Jikalau ada yang lain dihatimu mungkin hanya di suatu sudut bukan dibagian ruangnya. Aku akan biarkan kau menjalin hubungan cinta dengan siapapun. Aku hanya akan melihatmu dari tempatku dan tak akan aku mengusikmu.”
            Kumala semakin tak bisa menahan air matanya aku tak pernah bisa melihatnya menangis seperti ini.
“Kamu menaruh cinta yang salah al” ucap Kumala sambil mengusap air matanya.
“Gak ada cinta yang salah Kumala hanya keadaan dan waktu yang terkadang membuatnya terlihat salah. Gak ada yang bisa menyalahkan orang jatuh cinta karena siapapun dia gak ada yang bisa menahannya untuk datang.”
            Aku berpindah tempat dan duduk disamping Kumala “Kumala aku hanya ingin kau tahu bahwa aku yang akan kau cari ketika semuanya sudah berada di waktu yang tepat. Kamu seseorang yang layak untuk aku tunggu karena cinta ini tak pernah salah untuk aku tempatkan kepada hatimu.”
            Kumala tak mengucapkan sepatah kata apapun ia hanya memelukku sangat erat inilah hal yang terberat untukku. Pelukan erat ini menjadi pukulan bagiku bahwa tak bisa ia ku miliki untuk saat ini akan banyak hari dan waktu yang harus aku relakan untuk melihatnya dengan orang lain.
            “Cintamu memang tak pernah salah Al.. aku yang salah..” sambil tersedu-sedu ia mengucapnya.
Kumala…


Wednesday, 1 January 2014

De-Javu

Tiga tahun sudah semuanya berjalan.

Awal yang sangat sulit namun akan ku buktikan bahwa cinta adalah sesuatu yang harusnya akan selalu membuatmu bahagia. Jikalau di masa lalu kau pernah dikecewakan aku harap masih ada setitik senyum yang sanggup kau simpulkan untuk orang disekitarmu.

*Suara telepon berdering*

"Kenapa lagi?"

Untuk beberapa saat laki-laki yang berdiri di sebelahku terdiam, nampaknya ia hanya mendengarkan.

Ia menghela nafas kemudian mematikan ponselnya. Wajahnya sangat tak bersahabat.

"Gak sopan ngeliatin orang kaya gitu" celetuk laki-laki itu.

Aku baru tersadar bahwa sedari tadi aku memperhatikannya. Aku menggeser badanku dan menyisakan ruang yang masih bisa satu orang duduki.

Lelaki itu kemudian duduk, ponselnya masih berbunyi namun nampaknya ia enggan untuk mengangkatnya. Suara ponselnya masih terus berbunyi.

"Mau ngapain lagi si" katanya sambil mematikan ponselnya.

Lagi-lagi aku memperhatikan semua gerak-geriknya "Bisa gak ngeliatnya biasa aja". "Masnya lagi disamping saya, ya wajar dong kalau saya ngeliatin mas".
Ia tak memperdulikan jawabanku mukanya datar.

Sudah hampir 15 menit kami disini, di tempat pemberhentian bus (seharusnya).
"Lo nungguin apa?"

"Gak punya mulut ya?"

Aku menoleh "Lo nanya sama gue?".
"Cuma ada lo sama gue doang disini masa iya gue nanya sama tiang"
"Oh kirain lo lagi ngangkat telpon, Lo sendiri nungguin apa?"
"Gue nanya malah balik nanya"

Aku menutup bukuku dan memasukkannya ke dalam tas "Panas banget jadi neduh dulu deh disini".
Ia menoleh "Baru tau ada orang lagi panas-panasnya terus neduh di halte".
"Dan baru tau juga ada orang yang kayaknya lagi berantem sama pacarnya ikutan neduh di halte juga bareng gue".

Aku berdiri dan meninggalkan halte itu.

***

"Buu.. kok kotak susunya belum diambil? Dirga gak dateng hari ini?" setelah sampai rumah aku duduk di ruang tengah yang berukuran tidak terlalu besar dengan ruangan berwarna putih semakin teduh dengan bunga mawar diatas mejanya. Ibu berjalan ke luar dan menengok kotak susu yang ternyata memang belum diambil sedari pagi.
"Oh iyaa..ya ibu baru sadar kalau nak Dirga gak kesini".

Dirga adalah seorang pengantar susu yang setiap pagi mengantarkannya ke rumah-rumah warga komplek sini. Apa mungkin hari ini ia sedang sakit atau ada keperluan lain sehingga tak ada susu yang diantarkannya. 
"Ra, kamu ke supermarket ya beli susu disana aja deh ibu mau bikin macaroni" sambil memberikan beberapa catatan bahan yang akan dibeli.

Senja hari ini masih sama seperti senja-senja tahun kemarin. Dulu mungkin senja adalah tanda bahwa kami harus menyudahi permainan basket di lapangan rumah Wardhana. Aku tersenyum, senyum ini ibarat penghiburan. Rindu rasanya bermain basket seperti dulu lagi tapi ku rasa keadaan tidak lagi bisa seperti dulu. Masa lalu biarlah menjadi kenangan yang akan membuat kita lebih berharga di masa sekarang. 

Kayuhanku terhenti pada satu titik, ku lihat seorang pemuda yang biasa ku lihat setiap pagi di sebuah apotek. Aku menghampirinya "Dirgaaaa..".
Ku parkirkan sepedaku lalu menghampirinya..

"Kamu sakit?"
"Masuk angin kayaknya" ia tertawa.
"Kok ketawa? emang ada yang lucu?" tanyaku lagi.
"Mbak yang lucu" tatap ku heran.
"Ohh.. enggak mbak. Maksudnya ini penyakit orang kampung biasa masuk angin gitu" ia tertawa lagi.


"Ahh nyesel saya nyamperin kamu, yaudah cepet sembuh ya biar saya gak perlu beli susu ke supermarket sore-sore begini"
"Mbak mau ke supermarket? ayo saya antar?"
"Kamu mau nganterin saya? kamu katanya sakit?"
"Udah sembuh"
"Dirga kamu mau becandain saya ya? oh iya sepeda kamu mana? kok kayaknya saya gak liat sepeda biru kamu?"
"Biru udah gak ada mbak, kalau gitu saya pamit ya mbak" Dirga berjalan ia tak lagi menggunakan sepedanya.

Aku hanya memandanginya sepanjang ia berjalan sesaat aku lupa dengan tugasku untuk membeli susu.

Sesampainya dirumah aku memberitahu ibu kalau aku bertemu Dirga ketika perjalanan ke supermarket. Aku menceritakan kalau Dirga bilang sepedanya sudah tidak ada. "Kamu kangen kalau Dirga gak ada sepeda trus dia gak bisa nganter susu ke sini?" tanya ibu sambil membereskan bahan-bahan yang baru aku beli tadi. "Bukannya gitu bu tapi kan kasian kalau dia harus gak kerja, malah katanya dia juga lagi sakit" jawabku.

"Yasudah besok lagi kita tunggu Dirga sekarang kamu mandi terus bantuin ibu nih bikin macaroni, pesenan buat nanti malem"
"Nanti malem? siapa yang pesen bu?"
"Bu Ana yang pesenin tapi buat temen anaknya katanya, nanti malem orangnya kesini"

***

Suara bel pintu....

Jam menunjukkan pukul 22:00 mungkin orang yang akan mengambil pesanan macaroni schottel. Semua pesanan sudah siap tapi yang jadi pertanyaan mengapa ada orang yang memesan untuk dimakan malam-malam sekali?.

Ku bukakan pintu..
Dari bawah pria ini memakai sepatu converse berwarna abu-abu dengan jeans dan memakai jaket berwarna coklat. Seketika ku lihat wajahnya "Loohh?". "Kenapa kok kaget banget? gue bukan penagih utang" reaksinya santai.
"Buu nih orang yang mau ambil macaroninya udah dateng" ku tinggalkan ia yang masih berdiri di depan pintu.

Ku teruskan membaca majalah sambil memakan keripik kentang yang tersedia di meja ruang tengah. Ia masih terus berdiri sambil membunyikan kakinya ke lantai. "Ada tamu nih lo gak mempersilahkan gue duduk gitu?".

"Ehhh ini pasti nak Adit yang mau ngambil macaroni itu yaah?" ibu yang sedari tadi sedang shalat langsung menemui lelaki yang baru ku ketahui namanya adalah Adit. Aku terdiam seperti De-javu mendengar nama itu. 

"Ini pesanannya, dua kan?" ibu memberikan macaroni yang telah di tempatkan rapi. "Iya bu terima kasih ya ini uangnya" ia memberikan uang. "Iya sama-sama ya nak Adit kalau ada rasa yang kurang-kurang nanti boleh disampein ya". "Saya cobain dulu deh tapi kalau dari harumnya si enak kayaknya bu".

"Oh iya bu, saya mau ketemu sama anak ibu itu siapa namanya?" ia berbisik pada ibu. "Ohh..Rara" jawab ibu. "Ahh iyaa, boleh bu?" bisiknya lagi. "Kamu kenal sama Rara?". "Belum mangkanya ini baru mau kenalan" ujarnya. 

Ibu menghampiriku yang masih asik membaca majalah "dia mau kenalan sama kamu katanya". Setelah menyampaikan ibu segera masuk ke dalam. "Rumah lo disini ternyata, dunia sempit banget" perlahan lelaki itu memasuk rumahku. "Gak ada yang nyuruh lo masuk" aku coba menghalangi langkah kakinya. Kemudian ia duduk di sebelahku "Gue Adit" ia menjulurkan tangannya. 

Aku menatapnya dalam-dalam ketika ia menyebutkan namanya. "Woii bengong, kebiasaan lo suka ngeliatin gue begitu hati-hati ntar naksir". Aku melemparkan bantal ke arahnya "Rese banget sih bikin kaget aja, gue..". "Biar gue tebak nama lo Rara kan?" ia mendekatkan kepalanya ke arahku. Aku tak bergeming "dari mana lo tau, lo bukan dukun kan?". "Santai muka lo gak usah culun begitu, tadi gue nanya nyokap lo waktu di depan pintu tadi" jelasnya. 

"Temenin gue didepan situ dong, gue liat tadi ada bangku taman gitu viewnya asik" ia menarik ke arah taman. Adit menaruh macaroni yang ia pesan dari ibu kemudian membuka keduanya. Aku tak mengerti pikiran lelaki ini, ia memesan dua macaroni tapi kenapa ia buka disini. "Temenin gue makan ini" ia memberikan sendok yang memang sudah ada dalam kotak macaroni yang dibuat ibu. "Apaa? lo gila kali ya gue yang bikin itu juga tadi , masa gue makan juga".

"Apa bedanya?"
"Ya kalau gue bikin buat sendiri ya pasti gue makan, tapi kan tadi buatnya emang buat pesenan pelanggan"
"Yaudah sederhanain aja, anggap gue temen lo yang ngajak lo buat makan macaroni ini bareng dan lo ga tau kalau macaroni ini ibu lo yang buat, beres. Sekarang makan".

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Cerita ini adalah sebuah lanjutan dari cerita yang pernah saya buat. Jika kalian ingin membacanya ada tiga cerita sebelumnya yang saya tulis, bisa lihat di sini :

" Rara "
" Surat yang Aku Baca "
" Nomor Punggung 8 "

Selamat membaca...

Monday, 21 October 2013

Dimulainya Hari Ini

Jika telepon genggam ku bisa bertindak sendiri mungkin ia sudah lancang mengirimkan semua pesan yang tersimpan di draft. Tapi disini manusia masih mempunyai peran untuk mengendalikan apa yang ingin ia kirimkan walaupun berbeda dengan apa yang sebenarnya ingin disampaikan. Sudah hampir habis hari ini namun tak juga namanya tertera di kotak masuk ponselku. Biarlah mungkin memang ini yang menjadi pilihannya hanya saja aku tak habis pikir kenapa sikapnya bisa seperti itu.

Mataku mulai meminta untuk dipejamkan dan ingin menikmati keheningan malam sampai tiba esok matahari masuk dari jendela kamarku yang terbuka. Aku tinggalkan semua yang nampaknya berjalan tidak sesuai dengan apa yang aku inginkan. Entahlah apa yang akan terjadi esok biarkan semuanya menjadi rahasia yang tak pernah ku ketahui. Abin menjadi suatu rahasia yang sampai saat ini tak ku ketahui mengapa ia menjadi seperti itu.
***

Almost, almost is never enough
So close to being in love
If i would have known that you wanted me
The way i wanted you
Then maybe we wouldn't be two worlds apart
But right here in each other arms

"Haloo kenapa ga?"
"Ven gue di depan"
"Hah?" aku yang sedang memakai dasi segera berlari menuju jendela kamar yang langsung tertuju ke arah pintu gerbang rumah.
"Gue tunggu di bawah" kemudian panggilan teleponnya terputus.
Aku keluar dari kamar untuk menemui Angga. 
"Raveeeeen hati-hati kalau turun dari tangga jangan buru-buru" ucap ayah yang baru saja keluar dari kamarnya.
"Bentar yah ada temen aku di bawah" jawabku sambil menuruni tangga.

Sesampainya di pintu depan tenyata pintu masih terkunci "Buuuu kuncinya manaaa?".
"Apa siih raven dari tadi grasak-grusuk terus teriak-teriak.." ibu menghampiri dan memberikan kunci.

Aku menuju pagar dan membukakan gembok yang masih terkunci untuk Angga "Kok lo gak bilang gue dulu sih kalau mau jemput ke rumah".
"Emang kenapa? kan kalau gue mau sekolah pasti ngelewatin komplek rumah lo dulu jadi sekalian".
"Iya tapi kepagian mas, yaudah motor lo masukin terus sarapan dulu deh yuk di dalem".
"Ehh gak apa-apa nih ikut sarapan?".
"Iya udah buruan masukin.. gue ke dalem dulu yah mau siap-siap lo langsung masuk aja pokoknya" ku tinggalkan Angga yang masih harus memasukkan motornya ke dalam rumah".

"Assalammualaikum".
"Walaikumsalam... ehh Angga sini masuk".
"Iya tante".

"Ven udah siap belum?" teriak ibu dari bawah.
"Iya buuu bentar lagi" saut Raven.

Suara langkah kaki menuruni anak tangga terdengar dan mulai menunjukkan siapa yang turun dari atas. Seorang perempuan berpakaian seragam dengan rambut sebelah kiri disematkan ke telinga dan rambut sebelah kananya dibiarkan terurai. Indahnya pagi mungkin kalah indah dari cantiknya Raven pagi ini.

"Ga siniii kita sarapan" Raven memanggil Angga yang ada di ruang tengah untuk pindah ke ruang makan.
"Ehh ternyata masih pagi udah ada tamu, ayam juga kalah cepet nih kayaknya" ujar ayah.
"Apaan si yah emangnya ayam pagi-pagi bertamu? Oh iya kenalin ini Angga temen sekelas Raven".
"Ohh Angga.. Nak Angga ini tau betul ya caranya biar rezeki gak di patok sama orang jadi datengnya pagi-pagi".
Ibu memotong pembicaraan sambil menaruh piring di meja makan "Sudah..sudaah ayah jangan di dengerin dia suka gitu.. jayus orangnya"
"Bu jayus itu bukannya nama pejabat yang tersandung kasus korupsi itu?".
"Itu Gayus om" saut Angga.
"Loh.. kamu bisa ngomong juga ternyata. saya kira gak bisa abis dari tadi cuma senyum-senyum aja" kami semua tertawa.
"Angga malu-malu yah biasa baru ketemu pertama kali sama ayah".

Sarapan pagi kali ini cukup menyenangkan. Ayah seperti bertemu dengan anak laki-lakinya. Sudah hampir satu tahun kami sarapan hanya bertiga karena kakak tertua ku mendapatkan tugas bekerja di daerah. Ayah sangat suka bercanda dengan Angga yang sesekali mengajaknya bermain plesetan nama-nama tertentu.

"Hati-hati ya nak Angga bawa motornya jangan ngebut. Inget kamu bawa putri kesayangan om".
"Iya om beres".

Kami bersalaman dengan Ayah dan ibu "Bu..yah kita pergi dulu yah".
"Iya hati-hati" ucap ibu.

"Ga makasih ya udah bikin bokap kayaknya kangennya terobati sama anak cowonya gara-gara ada lo di meja makan kita pagi ini".
"Iya sama-sama besok-besok gue numpang sarapannya di rumah lo aja ya berarti".
"Yee numpang idup sama gue dong lo..".
Angga tertawa terbahak "Udaaah buru pegangan ntar kita malah kesiangan lagi".

***

Beberapa siswa terlihat mulai terus melirik jam dinding ataupun jam tangan yang sedang dipakainya ketika bel pertanda istirahat akan segera berbunyi. Konsentrasi untuk belajar seakan sudah terbagi dua dengan segarnya es jeruk dan semangkok bakso di kantin. Aku masih terus tersenyum melihat Raven hari ini, alangkah semesta menciptakan pagi yang begitu indah. Secangkir hangatnya kebersamaan dengan keluarga Raven dan gurihnya ucapan terima kasih dari Raven pagi tadi. 

"Ga traktir gue bakso dong di kantin" tiba-tiba saja celetukan Rina mengalihkan pikiranku tentang Raven untuk sesaat.
"Yee lo pikir gue bapak lo".
"Ihh jahat banget giliran Raven di traktir..".
"Yailaaah Rina bandingin sama Raven ya jelaslah.. Raven minta Angga beliin bakso sama gerobak-gerobaknya juga di beliin" saut Odi.
"Yaudah ven lo minta Angga dong beliin bakso sama gerobaknya kan nanti gue bisa nebeng makan tuh".
"Rin..rin lo mah emang tetep aja maunya yang gratisan sama kaya gue" jawab Odi sambil mengambil sepatu diatas pintu yang disangkut oleh Irfan.

"Apaan si kalian ini.. yang adil tuh beli pake uang sendiri-sendiri buat jajan sendiri juga".
"Nah setuju deh sama Meylin.. yuk aahh kita ke kantin" Raven menggandeng Meylin menuju kantin.
"Ehh tungguin gue" Rina menyusul Raven dan Meylin.

"Sob lo gak ke kantin?".
"Enggak ahh kenyang nanti aja isirahat kedua".
"Yaudah gue ke kantin dulu lah sob.. laper".
"Eh di bentar deh, menurut lo Raven tau gak si kalau gue punya sesuatu yang khusus buat dia?".
"Khusus? tempat bimbel?".
"Yeee gerobak ketoprak itu kursus".
"Kursus banget si badannya si Meylin".
"Itu kurus broooh.. ettt.. wah lo ngeledekin Mey, gue aduin lo ntar".
"Yaelah sob serius amat pantes ga di pekain".
"Maksud lo?".
"Tau ahh.. kebanyakan nanya lo. Pelan-pelan mangkanya santai liat kanan-kiri jangan lupa".
"Sok tauuuu looo".
Odi kemudian berlalu meninggalkan ku dalam kelas dengan jempol terbalik dibelakang badannya "Buseet bener-bener tuh anak".

***

"Lo nungguin siapa ven?" tanya Angga.
"Gue nunggu di jemput ayah" jawabku terbata-bata.
"Gak bareng sama gue aja nih?".
"Enggak gak usah udah janji soalnya sekalian mau makan siang bareng gitu deh katanya ayah".
"Oh yaudah gue duluan ya ven".
Sementara itu tiba-tiba Odi menghadang motor Angga "Ga nebeng dong..".
"Ogaah balik sendiri lo..".
Tanpa banyak kata Odi langsung saja menaiki motor Angga "Yuk jalan".
Aku hanya tersenyum melihat tingkah kedua anak itu dan akhirnya Angga pulang bersama Odi.

Sebenarnya ayah tak menjemputku dan juga tak ada janji makan siang hari ini. Bukan aku tidak jujur kepada Angga hanya saja tiba-tiba ketika ia bertanya tadi jawaban itu yang terlontar dari mulutku. Aku masih menunggu Abin hanya ingin meingatkan kalau saja ia lupa tentang ajakan ku kemarin. Namun nampaknya anak-anak kelasnya sudah hampir semua keluar dari gerbang sekolah namun aku masih juga tak melihat tanda kemunculan Abin. Selagi istirahat pun aku memang tak melihatnya tapi pikirku ia pasti sedang asik membaca komik di samping ruang perpustakaan atau hanya mengobrol di kelas.

Ku lihat Arumi ia teman sekelas Abin, aku akan coba bertanya padanya "Arumi mau tanya dong, Abin udah keluar kelas belum?".
"Abin? Dia kan gak masuk hari ini".
"Gak masuk? kenapa?".
"Gak ada keterangan ven, Indra juga gak dikabarin".
"Oh gitu.. yaudah makasih ya rum".

Bahkan untuk menghadapi hari ini saja ia tak ingin apalagi mengingat ajakan ku kemarin........

Tuesday, 8 October 2013

Permulaan

Bel istirahat jam kedua pun berbunyi semua siswa bersiap-siap menuju masjid untuk menjalankan shalat dzuhur berjamaah. Aku, Rina dan Meylin selalu bersamaan menuju masjid namun karena hari ini Meylin sedang datang bulan akhirnya aku hanya berdua saja dengan Rina. Sepanjang perjalanan menuju masjid kami membahas mengenai pelajaran fisika yang baru saja dibahas kelas tadi "Sumpah gue males banget ven masuk kelas lagi rasanya otak gue udah penuh asep nih". Pelajaran fisika memang masih akan berlanjut sehabis istirahat kedua ini selesai. Tiba-tiba saja "Rin lo duluan dong ke masjidnya gue mau ngomong sama Raven sebentar". Tanpa berkata banyak seperti sudah mengerti Rina langsung berjalan lebih cepat dan meninggalkanku bersama Angga.

"Ven pulang sekolah makan gulali yuk?".
"Traktir yaah?".
"Mau banget apa mau aja?" Angga mendekatkan matanya ke arah mataku. Kami pun tertawa sambil berjalan beriringan menuju masjid.

Seusai shalat dzuhur berjamaah aku dan Rina membeli jajanan dikantin sekolah. "Cari ini?" seorang laki-laki menghampiri dan memberikan sebuah permen lolipop dengan rasa anggur. "Abin? ya ampun lo kemana aja?" ku ambil lolipop itu dari tangannya. "Gue masih sekolah disini kok. Duluan ya ven" Abin pun pergi meninggalkan ku yang masih terkaget melihat dirinya yang lama tak ku jumpai di sekolah. "Rin Abin kenapa si? kok dia cuek banget sama gue? tanyaku pada Rina yang masih asik memilih jajanan apa yang akan dibeli untuk menemaninya ketika pelajaran fisika nanti. "Gak tauuuuuu tanya aja sama orangnya yuk ah ke kelas, lo udah bayar belum?". "Bentar-bentar" ku ambil uang dari dalam saku seragam sekolahku.

Sepanjang pelajaran fisika aku masih terus memikirkan sikap Abin yang tak seperti biasanya. Abin memang lelaki yang sangat terlihat cuek namun raut mukanya tadi menunjukkan kalau ada sesuatu yang mengusiknya. "Husssh ven jangan ngelamun lebih lama lagi atau lo bakal di suruh maju buat ngerjain soal di depan" Meylin menyenggol tangan kiri ku.

Setelah melewati waktu yang cukup panjang untuk sebuah pelajaran fisika tadi akhirnya waktu pulang pun tiba.
"Yuk jadi kan?" Angga menghampiri ku yang masih memasukkan buku-buku ke dalam tas.
"Iyaa jadi.. tunggu diparkiran ya ngga".
"Okee gue tunggu dibawah yaa" Angga pun pergi meninggalkan kelas.
"Lo mau kemana ven sama Angga?" tanya Meylin.
"Makan gulali".
"Terus Abin?" sahut Rina cepat.
"Abin? Apa hubungannya Abin sama gulali?" jawabku terheran.
"Ohh gak apa-apa si yaudah gihh yuk ke bawah cuma tinggal kita doang loh di kelas" ucap Rina sambil berjalan duluan ke luar kelas.

***
Hai

Ku dapati sebuah pesan singkat yang ternyata dari Abin. Entahlah aku sangat senang ketika membacanya sudah lama ia tak menghubungiku dan walaupun kami satu sekolah akhir-akhir ini aku jarang melihatnya.

Abin :)

Dengan cepat aku membalasnya lalu ku tinggalkan ponselku diatas kasur kemudian turun ke bawah untuk segera makan malam bersama ayah dan ibu.

Seusai makan malam kembali ku lihat ponsel yang ku tinggalkan dikamar tak ada satupun pesan yang masuk. Abin selalu seperti ini hanya sekali mengirim pesan singkat setelah itu hilang entah kemana. Sebenarnya aku ingin sekali menanyakan kemana ia beberapa hari belakangan ini namun nampaknya situasinya belum memungkinkan.

Akhirnya aku terlelap dengan ponsel yang masih tergenggam ditanganku karena menunggu balasan dari Abin.

***
Cuaca pagi ini sedang tidak bersahabat mendung dan tiupan angin yang membuat badan menjadi tidak enak. Pagi ini aku lihat seorang Abin diantar oleh seorang wanita kira-kira umurnya sebaya dengan ibuku. Biasanya ia hanya diantar oleh supirnya atau berangkat bersama temannya.

"Abin" aku memanggilnya sambil berlari kecil ke arahnya. Ia menoleh namun terus berjalan melanjutkan langkahnya. Aku berjalan cepat menghampirinya "Abin tunggu". Ia menghentikan langkahnya. Nafas ku tak beraturan ketika sampai didekatnya. 
"Kenapa?"
"Lo marah sama gue?"
"Marah?" jawabnya heran.
"Yaa iya marah abis tadi gue manggil lo trus kenapa malah terus jalan aja gitu?" jawabku kesal.

Belum sempat Abin menjawab "Raveeenn" panggil seorang lelaki dari arah belakangku. 
"Gue duluan ya ven" ia berlalu dari hadapan ku.

"Hei yuk ke kelas bareng" Angga menepuk bahu ku dan kemudian menarik tanganku untuk berjalan bersama menuju kelas.

Sikap Abin aneh sekali kali ini aku sangat yakin ada sesuatu yang terjadi pada dirinya.

Aku meletakkan tas di atas meja ku kemudian duduk disamping Rina yang sedang asik duduk di lantai sambil membaca majalah.
"Rin tadi gue ketemu Abin di depan"
"Teruss?"
"Yaa itu masa cuma seperlunya doang gitu ngomongnya"
"Cemburu kali" ucap Rina sambil terus membolak-balikan majalahnya.
"Cemburu kenapa? gue punya salah apa ya sama dia? apa mungkin karena dia lagi ada masalah?"
"Ven inget gak lo kan punya janji buat nemenin dia nonton. Lo ajak aja dia nonton trus kan lo bisa tanya-tanya tuh pas kalian jalan bareng nanti. Udah ahh gue mau ke toilet nitip majalah gue bentar ya" Rina menaruh majalahnya diatas rok ku.

"Duh iya juga ya dulu Abin pernah ngajak nonton tapi karena Angga udah keduluan ngajak gue waktu itu jadinya gak jadi. Apa gue sms dia aja buat ngajak nonton? tapi kan yang semalem aja sms gue gak dibales? Apa pas istirahat aja ya gue samperin dia" tutur ku dalam hati.

"Selamat pagi semua hari ini ibu mau kalian bikin kelompok yang terdiri dari 5 orang dan harus ada cowo sama cewe didalam kelompoknya" ibu Dila telah masuk kedalam kelas.

Kemudian semua siswa sibuk membuat kelompok untuk pelajaran biologi pagi ini.
"Ven gue sama Angga bareng sama lo ya" teriak Odi dari bangku belakang.
"Yaudah pas 5 orang jadinya" sambung Rina.
Akhirnya kelompok kami telah terkumpul 5 orang yang terdiri dari aku, Rina, Meylin, Odi dan juga Angga.

"Jadi ibu mau kalian keluar kelas untuk meneliti daun yang ada dilingkungan sekolah, tuliskan bagian-bagian apa saja yang terdapat pada daun kemudian jangan lupa dicatat datanya. Apa yang kalian amati nanti harus dibuat laporan dan dikumpulkan minggu depan" cukup jelas atau masih ada pertanyaan?.
"Jelas buuuuu" semua siswa menjawab serentak.
"Oke jadi kalian sudah bisa keluar dari kelas dan mulai mengamati" ujar bu Dila.

Masing-masing kelompok mulai berpencar mencari kira-kira pohon apa yang daunnya akan di amati.
"Ehh gak usah jauh-jauh dehh kesana-sana mending ini aja kayaknya juga bisa buat di amati" Meylin menunjuk pohon yang cukup rindang dan letaknya tak jauh dari kelas kami.
"Boleh-boleh nih udah ini aja" Odi mulai duduk dibawah pohon dengan beralas rumput-rumput kecil yang tumbuh di sekitaran pohon tersebut.

"Gue ambil ya beberapa daun nya" Angga mulai memetik beberapa daun sebagai sampel untuk di amati.

***
"Bro..broo lagi pada ngapain lo?" tanya Indra salah satu teman sekelas ku melalui jendela kelas.
"Wessss brooooh ini nih lagi piknik join with us guys" jawab Odi.
"Ahahahaa..bisa aja broo lagi tugas biologi ya? kelas gue udah tuh minggu kemaren."
"Iya nih, lo ga ada guru?"
"Gak tau soalnya belum dateng nih gurunya lumayan deh bisa ngeliat Rina dari sini" goda Indra.

Mendengar percakapan Indra dengan Odi aku terbujuk untuk melihat siapa saja sebenarnya yang berada diluar kelas. Aku menoleh ku lihat ada Raven di sana. Pohon yang daun nya sedang mereka amati memang terletak persisi di depan kelas ku. Entah kenapa setelah melihat ada Angga di tengah-tengah mereka aku menjadi tak selera untuk terus mengamati keluar kelas.

"Bin ke kantor guru dong coba liat bu Deka udah dateng belum kalau gak masuk kan gue mau ke kantin" ujar Indra.
"Ahh males ndra keluar lo aja gih sana" jawabku.
"Ayook buruan lo kan ketua kelas" Indra mendorong badanku berusaha untuk membangkitkan ku dari tempat duduk.
"Iyaa bentar-bentar gue masukin komik gue dulu".

Aku keluar dari kelas dan menuju ruang guru untuk melihat apakah bu Deka ada di ruangan atau tidak. Alangkah tidak menyenangkannya harus melewati sesuatu yang sangat aku hindari.

"Abiiiin" suara perempuan yang tak asing pernah ku dengar memanggilku. Ia berlari mendahului ku kemudian tepat berdiri di depanku "Bin gue mau ngomong bentar".
"Ven gue harus ke ruang guru kalau lo mau ngomong bisa nanti aja istirahat" aku berlalu dari hadapannya.
"Abin gue mau ngajak lo nonton besok sore abis pulang sekolah, kalau lo mau bales sms gue kalau gak mau ya udah terserah".
Aku berhenti mendengar perkataan Raven barusan. Aku hanya menoleh dan untuk beberapa saat menatap wajah Raven kemudian melanjutkan perjalananku menuju ruang guru.


Bersambung....