Saturday, 27 December 2014
Monday, 24 November 2014
Saturday, 26 July 2014
Wednesday, 2 July 2014
Berjanjilah
"Jangan pernah menyerah hingga tetes darah penghabisan"
Begitu kiranya seharusnya kita berjuang untuk mengejar mimpi-mimpi yang kita miliki. Namun terkadang ada hal-hal yang membuat kita bertanya "apa masih sanggup?" atau "apakah masih pantas?" semua ini diperjuangkan. Rasa pesimis yang terkadang mampir dalam perjalanan hidup kita, itu wajar karena tak mungkin hidup berjalan lurus-lurus saja. Ada begitu banyak godaan yang datang menghampiri untuk sesuatu yang kita inginkan.
Saya pernah menyerah untuk suatu keadaan, dulu.
Berada diposisi merasa menjadi orang yang tak bisa melakukan apa-apa, saya kalah telak dengan yang lain. Saya merasa mereka sudah mencuri start terlebih dahulu dibanding saya dan itu menyebabkan saya tertinggal cukup jauh. Sampai pada akhirnya semua itu saya biarkan berjalan dan nampaknya keadaan masih saya anggap baik-baik saja. Saya ingin menyerah namun saya harus menyelesaikan suatu tanggung jawab ini terlebih dahulu. Karena sekiranya jikalau saya keluar dari zona ini saya pernah berusaha untuk mencobanya.
Terlewat dari masa-masa sulit itu saya mencoba perlahan menarik diri dan menyibukkan dengan hal-hal lain. Saya menemukan kenyamanan ditempat lain dan yang terpenting saya menaruh hati saya pada tempat yang baru saya datangi. Bukan berarti pada yang sebelumnya saya tak pernah melakukannya dengan hati akan tetapi ada sesuatu yang menurut saya lebih baik yang mungkin untuk saya jalani. Ada beberapa pihak yang menerka-nerka tentang saya, ah tau apa mereka tentang saya biarlah ini menjadi keputusan yang akan saya pertanggung jawabkan sendiri.
Akhirnya, saya menyerah untuk suatu keadaan yang benar-benar membuat saya tak bisa lagi bersatu dan berdiri bersama-sama. Saya cenderung orang yang akan lebih baik menarik diri dibanding saya tetap ada disana namun hati ini seperti menolak. Saya hanya ingin jujur untuk setiap apa yang saya lakukan.
Hari ini saya menjadi orang yang ingin lebih jujur menjalani apapun yang saya lakukan. Menjalani sesuatu yang menurut saya itu bisa membantu saya untuk membangun mimpi-mimpi saya. Orang lain tak tahu bagaimana proses dirimu untuk bisa menjadi lebih baik yang mereka ingin tahu adalah dengan apa yang telah kamu lakukan. Berbuatlah sesuatu untuk menolong dirimu menjadi dirimu yang sebenarnya. Jangan pernah menjadi orang lain tetaplah menjadi dirimu yang Allah ciptakan dengan segala kebahagiaan yang ia akan berikan.
Dulu, mungkin saya pernah menyerah. Akan tetapi saya percaya semua hal yang terjadi tidak lain atas ijinNYA dan segala sesuatu yang datang dari Allah akan selalu lebih baik dari apa yang kita rencanakan. Jikalau pernah menjadi ataupun merasa menjadi yang terburuk mulai sekarang jangan pernah menyerah lagi. Mulai sekarang yakinkan dirimu kalau Semesta akan selalu memberikan hal besar jauh dari apa yang kita bayangkan, asalkan kita percaya dan selalu berusaha untuk mencapai itu semua.
Mengutip dari salah satu penyanyi yang selalu terdengar Tulus "Yang Terburuk kelak bisa jadi yang Terbaik".
Saya menulis ini bukan berarti saya adalah orang yang sudah berhasil atau bagaimana, saya hanya ingin membagi sedikit semangat dengan kalian yang mungkin pernah sempat menyerah seperti saya. Berjanjilah mulai sekarang tak akan pernah menyerah lagi untuk sesuatu yang benar-benar ingin kamu perjuangakan.
Best Regards,
Qiqi Nur Indah Sari
Monday, 31 March 2014
Surat Untuk Mantan
"Ada senja yang belum usai" begitu kata mu.
Sebelum lagu ini mencapai menit terakhirnya aku pun tergerak untuk kembali melihat semua yang telah tersusun rapi didalam kotak ini.
Kotak coklat ini bagaikan roll film yang menyimpan adegan demi adegan yang terekam.
Mereka itu saksi.
Saksi dari sebuah cinta yang tak sempat menjadi KITA.
"Aku dan Kamu itu Kita dengan Cinta" aku ingat betul ucapan hangatmu di kala mendung sedang menghampiri kota yang menjadi tempat kelahiran kami berdua.
Ada sebuah mawar merah yang bunganya sudah kering di kotak coklat ini.
Melihatnya aku menjadi ingat sebuah bangku di salah satu taman kota dekat komplek rumah ku.
Ketika waktu menjadi hal yang mahal bagi Kita untuk bertemu, mendatangi taman itu menjadi hal mudah tanpa harus berpikir lagi kemana kita akan menghabiskan waktu.
Aku ingat mawar ini kau bawa setelah dua minggu kau tak mengunjungi ku.
Pekerjaanmu sebagai laki-laki memang harus lebih giat dikarenakan kelak kau harus menjadi kepala keluarga untuk wanita pilihanmu dan juga anak-anak mu nanti.
Sekarang, mawar ini kering.
Harumnya tak seperti dulu saat pertama kali kau memberinya di taman.
Di antara matahari yang telah mulai sedikit demi sedikit pulang ke rumahnya kau memberinya sambil berkata "Jaga mawar ini seperti kau menjaga rasa sampai hari ini".
Untuk seorang laki-laki, Kamu.
Kamu yang dahulu selalu menjadi sisi lain dari Aku.
Kamu yang dahulu selalu menjadi teman penikmat senja bersama ku.
Kamu yang dahulu selalu mendampingi ku di bangku taman itu.
Kamu yang dahulu selalu menjadi Cinta di dalam "Kita" yang terus ku doakan.
Untuk seorang laki-laki, Kamu.
Kamu yang sekarang tak lagi menjadi bagian dari sisi kehidupan ku.
Kamu yang sekarang tak lagi menjadi teman laki-laki penikmat senja ku.
Kamu yang sekarang tak lagi mengunjungi bangku taman itu.
Kamu yang sekarang tak lagi ku sebut dalam doa ku untuk bisa menjadi "Kita".
"Senja yang belum usai silahkan kau selesaikan dengan wanita pilihanmu yang bukan aku, nanti"
- Teman penikmat senjamu, dulu
Akhirnya aku melipat kertas surat ini dan memasukkannya ke dalam amplop merah.
Tulisan ini diikutsertakan untuk lomba #suratuntukruth novel Bernard Batubara
Wednesday, 19 March 2014
Bersama Hujan
Kemudian matanya seperti ingin menerkam tubuhku yang mulai digelayuti dengan rasa dingin yang mengepung disekujur tubuhku. Ini lebih menakutkan dari mahkluk yang mungkin tak terlihat disekeliling kami saat ini. Sudut kota ini sudah semakin sepi dan tak terlalu terdengar hingar bingar suara kendaraan yang berlalu-lalang. Sementara itu hujan turun semakin deras menghujani kota kelahiran ayahku yang pada akhirnya karena ayah juga aku berada disini.
Bandung selalu semakin terasa syahdu ketika hujan turun. Semakin terasa lebih hangat mungkin jika hujan-hujan seperti ini kau sedang bersama seseorang (bukan) kekasihmu. Mungkin aku sedang merasakan kehangatan itu. Kedua tangannya mulai menggenggam kedua tanganku, sela-sela jarinya dimasukkan kedalam sela-sela jariku. Kami pun saling menggenggam.
Aku tak mau memikirkan hal apapun yang lain selain niatnya yang hanya untuk mencoba meminimalisir rasa dinginku. Kami harus berteduh disuatu mini market yang telah tutup semenjak jam 10 malam tadi. Semakin deras hujan itu turun semakin deras pula ribuan getaran yang muncul di dadaku.
"Ami.." ia memanggilku dengan lembutnya.
Aku hanya mengarahkan mataku ke arah matanya. Entah perasaan seperti apa yang sedang aku rasakan saat ini. Rambutnya yang basah juga mata sayunya yang terlihat semakin sayu karena air yang belum sempat terusap diwajahnya seakan memaksa aku untuk menelisik lebih dalam.
"Ami.. sampai saat ini aku tak pernah tahu jawabannya, mengapa rasa sebagai teman tak pernah benar-benar hanya sebagai seorang teman. Terlebih kepadamu" lalu ia semakin erat menggenggam jemariku.
Terlambat
Lebih baik datang terlambat daripada tidak datang sama sekali begitu kira-kira kalimat yang sering diucapkan jika kita terlambat untuk suatu hal.
Namun bagiku semua keterlambatan itu sekarang sudah ada ditempatnya.
Aku mencoba.
Setidaknya itu pembelaanku.
Mencoba itu lebih baik ketimbang terus memikirkan "bagaimana-bagaimana" yang sepertinya tidak seburuk yang dipikirkan.
Ya, mungkin aku terlambat untuk mendapatkan apa yang aku mau.
Mendapatkan setengah hatimu saja nampaknya itu mustahil untuk saat ini.
Kau telah terlebih dahulu dibiarkan Tuhan memilih yang lain.
Asalkan kamu tahu.
Ada satu hal yang benar-benar membuat aku yakin kalau mungkin ini adalah yang terbaik.
Adalah ketika semua keraguanku menjadi tidak ragu untuk akhirnya ku katakan kepadamu.
Kemudian aku harus menerima kenyataan bahwa kau telah dimiliki hati yang lain.
Mungkin itu cara Semesta membuat isyarat bahwa memang untuk saat ini kau belum di ijinkan untuk mendekat ke arahku.
Itu baik, menurutNya.
Dan aku menerima semua keterlambatan ini.
Sambil terus berharap bahwa akan ada yang selalu datang untuk mengganti yang telah lalu.
Namun bagiku semua keterlambatan itu sekarang sudah ada ditempatnya.
Aku mencoba.
Setidaknya itu pembelaanku.
Mencoba itu lebih baik ketimbang terus memikirkan "bagaimana-bagaimana" yang sepertinya tidak seburuk yang dipikirkan.
Ya, mungkin aku terlambat untuk mendapatkan apa yang aku mau.
Mendapatkan setengah hatimu saja nampaknya itu mustahil untuk saat ini.
Kau telah terlebih dahulu dibiarkan Tuhan memilih yang lain.
Asalkan kamu tahu.
Ada satu hal yang benar-benar membuat aku yakin kalau mungkin ini adalah yang terbaik.
Adalah ketika semua keraguanku menjadi tidak ragu untuk akhirnya ku katakan kepadamu.
Kemudian aku harus menerima kenyataan bahwa kau telah dimiliki hati yang lain.
Mungkin itu cara Semesta membuat isyarat bahwa memang untuk saat ini kau belum di ijinkan untuk mendekat ke arahku.
Itu baik, menurutNya.
Dan aku menerima semua keterlambatan ini.
Sambil terus berharap bahwa akan ada yang selalu datang untuk mengganti yang telah lalu.
Monday, 17 March 2014
Kumala
Sore ini tepat disebuah coffee
shop bernama Backyard Coffee di daerah
bintaro sektor 7 yang bernuansa
minimalis dengan sofa dan kursi-kursi karyu serta foto-foto dan cd yang
terpajang di dinding membuat aku semakin menikmati detik demi detik suasana ditempat
ini. Alunan lagu kesukaan yang selalu diputar ditempat ini menambah rasa nyaman
untuk terus berlama-lama disini. Coffee shop ini milik salah satu band
Indonesia Maliq & D’essentials. Band tersebut
adalah band favorit aku dengan Kumala dan itu sebabnya aku memutuskan untuk
bertemu di tempat ini.
Jam tanganku telah
menunjukkan pukul 4 sore namun belum juga aku melihatnya, sambil menikmati lychee tea
yang telah aku pesan mataku terus
bergerak kesana kemari memastikan dirinya yang seharusnya telah datang.
Ditempat ini hanya ada aku dan dua orang yang sepertinya sedang meeting.
Suasana hening walaupun sesekali terdengar kedua orang itu sedang sibuk
memastikan kapan tanggal yang tepat untuk memulai event yang akan mereka laksanakan.
Tiba-tiba kulihat mobil berwarna putih berhenti
didepan backyard coffee, mobil
itu tak asing bagi ku benar saja tak lama seorang wanita berambut hitam sebahu
berkaos
polos berwarna putih dengan paduan jeans hitam dan flatshoes berwarna merah
keluar dari mobil itu. Namanya Kumala, seperti
biasa penampilannya selalu saja membuat aku terpesona akan kecantikannya. Kumala tak hanya cantik ia juga
pintar semenjak smp hingga
sma ia selalu mendapatkan gelar juara umum juga kepopulerannya disekolah karena
aktif di ekskul paduan suara.
“Maaf al aku terlambat” katanya
sambil menjabat tanganku dan mencium pipi kiri dan kanan ku. “Iya tak apa belum selama aku menantimu” tambahku. Kumala hanya tersenyum
mendengar perkataanku barusan “ahhh ini lagu favorit ku” ucap Kumala kurasa ia ingin
mengalihkan pembicaraan, pas
sekali memang kedatangannya disambut
dengan lagu untitled dari Maliq & D’essentials.
“Iya aku ingat kau menyanyikannya dengan merdu
sewaktu pentas seni
sma dulu” lagi-lagi Kumala
hanya tersenyum bibirnya yang tipis dibalut dengan lipstick berwarna pink soft membuatnya
semakin
terlihat sangat manis.
“Kamu hanya pesan ini?“
tanya Kumala
padaku. “Aku menunggumu bukankah kita selalu memesannya bersamaan?” selalu saja aku ingin menikmati
apapun bersamanya.
“Ahhhh kamu ini masih saja begitu”. Lalu kami pun memesan dua cangkir kopi, aku memesan
cappucinno dan Kumala memesan hot chocolate.
Detik
demi detik kami habiskan untuk menikmati secangkir kopi sekaligus membahas semua
yang telah kita lalui, aku tanpa Kumala dan Kumala tanpa aku. Ditengah perbincangan
kami tiba-tiba terdengar suara panggilan telepon dari handphone Kumala.
“Hallo,
ada apa?” …………… Kumala mengangkatnya.
Sekitar
10 menit Kumala menerima telepon entah dengan siapa ia berbicara yang aku
tangkap ia memastikan akan tiba ditempat yang telah dijanjikan 1 jam lagi.
“Altaf,
maaf aku harus pergi ada telepon mendadak, gak apa-apa kan kalau aku tinggal?”
Kumala coba menerangkannya dengan penuh kelembutan. “Ohh oke, santai aja” sahut
ku sambil melemparkan senyum. Aku tak bertanya apa yang membuatnya harus
tiba-tiba meninggalkan pertemuan ini.
“Aku
pamit ya al, next time kita atur pertemuan lagi” ucap Kumala sambil masuk ke
dalam mobilnya. Aku hanya memandangi dari samping mobilnya sambil terus
tersenyum pertanda aku sangat berterima kasih atas kehadirannya hari ini.
Walaupun ia meninggalkan separuh pertemuan kami.
***
Hari ini
aku berniat untuk pergi ke salah satu florist untuk membeli bunga dan di kirimkan kepada Kumala. Jam dinding ku
telah berderu kencang itu berarti waktu sudah menunjukkan pukul 1 siang. Aku
segera bersiap-siap, siang ini di luar hujan aku memutuskan untuk memakai
sweater berwarna coklat polos yang tergantung di lemari.
“Ma,
Altaf pergi dulu yaaaa..” sambil mencium kening mama dan mengambil sepotong
roti di meja. “Jangan pulang sore-sore ya hari ini papa pulang nanti malam kita
makan diluar” mama berbisik di telinga ku. “Aduuhh maa geli ihhh pake
bisik-bisik segala, iyaa bentar kok cuma ke toko bunga habis itu pulang” sambil
berlalu aku menuju garasi mobil. Hujan sedang sering menghamipri kota kami
entah kenapa mungkin karena semua penghuninya sedang merindukan basuhan basah
yang menghangatkan suasana.
Setelah
sampai di florist aku segera memilih bunga yang akan aku kirim kepada Kumala.
“Mas mau cari bunga apa?” Tanya salah seorang penjaga florist itu kepada ku.
“Emmm… aku juga gak tau kira-kira kamu bisa bantu gak?” jawab ku. “Untuk
diberikan kepada siapa? Teman? mama? Atau
pacar ?” penjaga itu bertanya lagi. “Buat seseorang dibilang pacar juga
bukan..” ujar ku sambil tertawa.
“Pasti
masih pedekate ya mas, kira-kira orangnya seperti apa?” “orangnya cantik,
lembut, sopan, rambutnya bagus, suaranya juga merdu, matanya coklat……”
“mas..mas..” tiba-tiba saja tangan penjaga itu menepuk-nepuk bahuku. “ohhh maaf
jadi ngelamun” “kayaknya mas nya suka banget yah sama mbak nya sampe bikin
ngelamun gitu” sambil tertawa dan
membuat matanya semakin sipit.
Penjaga
florist itu segera menunjukkan beberapa mawar dengan macam warna yang berbeda. “Kalau
dengar dari gambaran mas tentang mbaknya kayaknya mawar warna merah muda ini
cocok untuk dia mas”. Mawar berwarna merah muda itu melambangkan kebahagiaan
dan kelembutan sama seperti Kumala ia wanita yang lembut serta selalu membuat aku
merasa bahagia karena telah dipertemukan dengannya.
“Iya mbak
saya mau yang ini ya, nanti dikirim ya mbak alamatnya ini udah aku tulis terus
jangan lupa kartu ucapan ini juga ditaruh di bunganya” sambil menujukkan
secarik kertas bertuliskan alamat rumah Kumala. Penjaga florist itu pun segera
merangkai bungai yang telah aku pesan matanya terlihat sangat sipit ketika
wajahnya serius merangkai sebuket bunga mawar untuk Kumala.
Akhirnya
aku meninggalkan florist itu dan pulang kerumah. Aku harap Kumala bisa suka dengan
bunga yang aku kirimkan. Sudah bisa ku bayangkan bibir tipisnya merekah dengan
indah seindah bunga yang baru mekar.
***
Keesokan
harinya aku menerima sebuah pesan singkat dari serorang wanita yang selalu saja
membuatku tersenyum simpul ketika mendengar namanya. Ia ingin bertemu denganku,
nampaknya bunga yang aku kirimkan kemarin telah diterimanya. Hari ini dia
mengajakku bertemu di Backyard Coffee lagi. Sekitar jam 3 sore aku telah bersiap-siap
menuju tempat yang akan mempertemukan kami berdua.
Sesampainya
disana mobil putih telah terparkir didepan coffee shop favorit kami berdua ini.
Aku pun segera masuk kedalam dan tentu saja disuatu sudut perempuan cantik itu
telah menungguku. “Hei maaf kali ini kau yang harus menunggu” aku mencium pipi
kanan dan kirinya tubuhnya wangi aroma parfum strawberry.
“Altaf sejak kapan kamu suka kirimi
aku bunga?” ia tersenyum. Kumala andai kamu tahu bunga itu ku beri untukmu
sebagai tanda terima kasihku karena kau kembali ke kota ini. “ Thank you so
much al, aku suka sekali warna bunganya” ia menatap dalam mataku. Aku bersyukur
Kumala datang kembali ke kota ini setelah lulus sma dan akhirnya ia melanjutkan
kuliah di Surabaya aku tidak lagi bertemu dengannya.
“Jadi
kamu apa kabar al? kerjaan gimana? Terus keluarga sehat-sehat kan?”
“Nanyanya
satu-satu dong cantik”
Kumala
tertawa “Al..al masih aja kamu”. Sewaktu sekolah dulu aku sering memanggil
Kumala dengan sebutan “Cantik”.
“Aku
baik, mama sama papa juga Alhamdulillah sehat, kerjaan juga lancar cuma hati
aku aja yang gak lancar mal semenjak ditinggal kamu”.
“Al..
kamu ini yaaa” ia hanya menggelengkan kepalanya.
“Kamu
gimana jadinya, udah pasti kerja di Jakarta?’
“Iyaa aku
di pindahin kesini al, seneng si karena bisa tinggal bareng sama keluarga lagi
tapi kadang masih kangen juga sama Surabaya”
“Kangen
sama kotanya apa ada yang dikangenin disana?”
“Banyaaak..yang
pasti aku bakal kangen sama temen-temen, suasana Surabaya, makanannya, ahhh
pokoknya semuanya”
“Tapi apa
kamu gak kangen sama yang nunggu kamu di Jakarta?” aku memotong pembicaraan.
Kumala
tak mengubris pertanyaanku ia hanya tersenyum dan hanya terus menikmati secangkir
kopi yang dipesannya. Kemudian aku teringat akan sebuah pernyataanku dahulu
sebelum ia pergi ke Surabaya. Aku berpesan padanya jikalau ia kembali akan ada
yang selalu setia menantinya. Ku penuhi janjiku sampai akhirnya ia kembali ke
Jakarta tak pernah aku menoleh pada wanita yang bahkan lebih cantik dari
Kumala. Aku ini siapa untuknya kiranya tak penting bagiku menurutku aku
janjikan dirikulah yang akan siap untuk direpotkan olehnya sudah menjadi
kebahagiaanku. Karena dengan itu aku merasa dibutuhkan walaupun hanya
berlandaskan rasa terima kasih.
Semua gambar yang terpajang di
dinding nampaknya tahu bahwa aku sangat menantikan hari ini. Hari dimana aku
duduk berdua dengannya sambil berbincang-bincang dan tanpa ada yang menyuruhnya
untuk lagi meninggalkan pertemuan kami.
Alunan lagu dan nyanyian kecil dari Kumala yang mengikuti lagu-lagu yang
terdengar serasa lilin ditengah kegelapan.
Dering
suara panggilan masuk….
Aku
menerima telepon yang ternyata dari rekan kerjaku.
“Dari
siapa? Kedengerannya suara cewek al? pacar ya?”
Aku
setengah tertawa “sejak kapan ada yang gantiin kamu disini”.
Kumala
terdiam. Ia sedikit menarik napas “Al kalaupun menurut kamu ga ada yang gantiin
aku ditempat kamu tapi akan ada yang gantiin kamu ditempatku.”
Aku
terkaget mendengar ucapan Kumala barusan “Ya itu kamu bukan aku Kumala”.
Wanita
yang ada didepanku kini hanya mengaduk-ngaduk secangkir kopi miliknya entah apa
yang ada dipikirannya.
“Altaf..
kalau ada satu nama seorang sahabat yang begitu baik disepanjang hidup aku itu cuma
kamu.”
“Aku mau
kamu lebih dari sekedar sahabatku cantik” Balasku.
Kemudian hening untuk beberapa saat
diantara kami. Kumala terlihat memencet nomer telepon aku tak tahu siapa yang
sedang ingin ia hubungi.
“Namanya
Bayu dia pacarku” Kumala memberikan ponselnya kepadaku.
Aku mengambil ponselnya dan
mematikan sambungannya “Kamu gak perlu kenalin siapapun”.
“Al tapi
kamu gak bisa terus-terusan nunggu aku..kamu..”
“Kamu
apa? Kamu mau aku cari pacar juga? Kumala dari dulu aku simpen perasaan ini
baik-baik cuma buat kamu. Apa kamu pikir baru kali ini aku tau kamu punya
pacar?”
Matanya tak menatapku ia seperti
ingin menepis segala perkataan yang akan aku ucapkan kepadanya.
“Kenapa
si dua orang cowok sama cewek yang bersahabat gak bisa cuma punya perasaan
sebagai sahabat aja dan gak lebih?.”
“Kamu
tanya itu sama siapa? Sama aku? Gak ada yang pernah tau dan gak aka ada yang
bisa menghalangi ketika cinta itu datang mal. Kalaupun aku bisa milih aku gak
akan milih kamu yang jelas-jelas emang dari awal kita sahabatan dulu hanya
anggap aku sebagai sahabat.”
“Al..cukup.
Aku mau pulang sekarang” Kumala membereskan isi tasnya.
Aku menahannya pergi “Duduk sebentar
disini Kumala aku mau kamu denger semuanya, karena aku gak tau setelah kamu
pergi dari sini aku masih bisa ketemu kamu lagi atau enggak.”
Air matanya perlahan mulai jatuh
entah apa yang membuatnya menangis, mungkin ia kasihan melihat seorang
laki-laki sedang mengemis cinta kepadanya. Pengemis cinta yang menahun menaruh
harap akan cintanya.
“Kumala, tadi
kamu bilang aku adalah sahabatmu yang terbaik disepanjang hidupmu. Alasanmu
membuatku semakin yakin bahwa hanya aku yang terbaik untukmu. Jikalau ada yang
lain dihatimu mungkin hanya di suatu sudut bukan dibagian ruangnya. Aku akan
biarkan kau menjalin hubungan cinta dengan siapapun. Aku hanya akan melihatmu
dari tempatku dan tak akan aku mengusikmu.”
Kumala semakin tak bisa menahan air
matanya aku tak pernah bisa melihatnya menangis seperti ini.
“Kamu
menaruh cinta yang salah al” ucap Kumala sambil mengusap air matanya.
“Gak ada
cinta yang salah Kumala hanya keadaan dan waktu yang terkadang membuatnya
terlihat salah. Gak ada yang bisa menyalahkan orang jatuh cinta karena siapapun
dia gak ada yang bisa menahannya untuk datang.”
Aku berpindah tempat dan duduk
disamping Kumala “Kumala aku hanya ingin kau tahu bahwa aku yang akan kau cari
ketika semuanya sudah berada di waktu yang tepat. Kamu seseorang yang layak
untuk aku tunggu karena cinta ini tak pernah salah untuk aku tempatkan kepada
hatimu.”
Kumala tak mengucapkan sepatah kata
apapun ia hanya memelukku sangat erat inilah hal yang terberat untukku. Pelukan
erat ini menjadi pukulan bagiku bahwa tak bisa ia ku miliki untuk saat ini akan
banyak hari dan waktu yang harus aku relakan untuk melihatnya dengan orang
lain.
“Cintamu memang tak pernah salah
Al.. aku yang salah..” sambil tersedu-sedu ia mengucapnya.
Kumala…
Wednesday, 1 January 2014
De-Javu
Tiga tahun sudah semuanya berjalan.
Awal yang sangat sulit namun akan ku buktikan bahwa cinta adalah sesuatu yang harusnya akan selalu membuatmu bahagia. Jikalau di masa lalu kau pernah dikecewakan aku harap masih ada setitik senyum yang sanggup kau simpulkan untuk orang disekitarmu.
*Suara telepon berdering*
"Kenapa lagi?"
Untuk beberapa saat laki-laki yang berdiri di sebelahku terdiam, nampaknya ia hanya mendengarkan.
Ia menghela nafas kemudian mematikan ponselnya. Wajahnya sangat tak bersahabat.
"Gak sopan ngeliatin orang kaya gitu" celetuk laki-laki itu.
Aku baru tersadar bahwa sedari tadi aku memperhatikannya. Aku menggeser badanku dan menyisakan ruang yang masih bisa satu orang duduki.
Lelaki itu kemudian duduk, ponselnya masih berbunyi namun nampaknya ia enggan untuk mengangkatnya. Suara ponselnya masih terus berbunyi.
"Mau ngapain lagi si" katanya sambil mematikan ponselnya.
Lagi-lagi aku memperhatikan semua gerak-geriknya "Bisa gak ngeliatnya biasa aja". "Masnya lagi disamping saya, ya wajar dong kalau saya ngeliatin mas".
Ia tak memperdulikan jawabanku mukanya datar.
Sudah hampir 15 menit kami disini, di tempat pemberhentian bus (seharusnya).
"Lo nungguin apa?"
"Gak punya mulut ya?"
Aku menoleh "Lo nanya sama gue?".
"Cuma ada lo sama gue doang disini masa iya gue nanya sama tiang"
"Oh kirain lo lagi ngangkat telpon, Lo sendiri nungguin apa?"
"Gue nanya malah balik nanya"
Aku menutup bukuku dan memasukkannya ke dalam tas "Panas banget jadi neduh dulu deh disini".
Ia menoleh "Baru tau ada orang lagi panas-panasnya terus neduh di halte".
"Dan baru tau juga ada orang yang kayaknya lagi berantem sama pacarnya ikutan neduh di halte juga bareng gue".
Aku berdiri dan meninggalkan halte itu.
"Ahh nyesel saya nyamperin kamu, yaudah cepet sembuh ya biar saya gak perlu beli susu ke supermarket sore-sore begini"
"Mbak mau ke supermarket? ayo saya antar?"
"Kamu mau nganterin saya? kamu katanya sakit?"
"Udah sembuh"
"Dirga kamu mau becandain saya ya? oh iya sepeda kamu mana? kok kayaknya saya gak liat sepeda biru kamu?"
"Biru udah gak ada mbak, kalau gitu saya pamit ya mbak" Dirga berjalan ia tak lagi menggunakan sepedanya.
Aku hanya memandanginya sepanjang ia berjalan sesaat aku lupa dengan tugasku untuk membeli susu.
Sesampainya dirumah aku memberitahu ibu kalau aku bertemu Dirga ketika perjalanan ke supermarket. Aku menceritakan kalau Dirga bilang sepedanya sudah tidak ada. "Kamu kangen kalau Dirga gak ada sepeda trus dia gak bisa nganter susu ke sini?" tanya ibu sambil membereskan bahan-bahan yang baru aku beli tadi. "Bukannya gitu bu tapi kan kasian kalau dia harus gak kerja, malah katanya dia juga lagi sakit" jawabku.
"Yasudah besok lagi kita tunggu Dirga sekarang kamu mandi terus bantuin ibu nih bikin macaroni, pesenan buat nanti malem"
"Nanti malem? siapa yang pesen bu?"
"Bu Ana yang pesenin tapi buat temen anaknya katanya, nanti malem orangnya kesini"
Awal yang sangat sulit namun akan ku buktikan bahwa cinta adalah sesuatu yang harusnya akan selalu membuatmu bahagia. Jikalau di masa lalu kau pernah dikecewakan aku harap masih ada setitik senyum yang sanggup kau simpulkan untuk orang disekitarmu.
*Suara telepon berdering*
"Kenapa lagi?"
Untuk beberapa saat laki-laki yang berdiri di sebelahku terdiam, nampaknya ia hanya mendengarkan.
Ia menghela nafas kemudian mematikan ponselnya. Wajahnya sangat tak bersahabat.
"Gak sopan ngeliatin orang kaya gitu" celetuk laki-laki itu.
Aku baru tersadar bahwa sedari tadi aku memperhatikannya. Aku menggeser badanku dan menyisakan ruang yang masih bisa satu orang duduki.
Lelaki itu kemudian duduk, ponselnya masih berbunyi namun nampaknya ia enggan untuk mengangkatnya. Suara ponselnya masih terus berbunyi.
"Mau ngapain lagi si" katanya sambil mematikan ponselnya.
Lagi-lagi aku memperhatikan semua gerak-geriknya "Bisa gak ngeliatnya biasa aja". "Masnya lagi disamping saya, ya wajar dong kalau saya ngeliatin mas".
Ia tak memperdulikan jawabanku mukanya datar.
Sudah hampir 15 menit kami disini, di tempat pemberhentian bus (seharusnya).
"Lo nungguin apa?"
"Gak punya mulut ya?"
Aku menoleh "Lo nanya sama gue?".
"Cuma ada lo sama gue doang disini masa iya gue nanya sama tiang"
"Oh kirain lo lagi ngangkat telpon, Lo sendiri nungguin apa?"
"Gue nanya malah balik nanya"
Aku menutup bukuku dan memasukkannya ke dalam tas "Panas banget jadi neduh dulu deh disini".
Ia menoleh "Baru tau ada orang lagi panas-panasnya terus neduh di halte".
"Dan baru tau juga ada orang yang kayaknya lagi berantem sama pacarnya ikutan neduh di halte juga bareng gue".
Aku berdiri dan meninggalkan halte itu.
***
"Buu.. kok kotak susunya belum diambil? Dirga gak dateng hari ini?" setelah sampai rumah aku duduk di ruang tengah yang berukuran tidak terlalu besar dengan ruangan berwarna putih semakin teduh dengan bunga mawar diatas mejanya. Ibu berjalan ke luar dan menengok kotak susu yang ternyata memang belum diambil sedari pagi.
"Oh iyaa..ya ibu baru sadar kalau nak Dirga gak kesini".
Dirga adalah seorang pengantar susu yang setiap pagi mengantarkannya ke rumah-rumah warga komplek sini. Apa mungkin hari ini ia sedang sakit atau ada keperluan lain sehingga tak ada susu yang diantarkannya.
"Ra, kamu ke supermarket ya beli susu disana aja deh ibu mau bikin macaroni" sambil memberikan beberapa catatan bahan yang akan dibeli.
Senja hari ini masih sama seperti senja-senja tahun kemarin. Dulu mungkin senja adalah tanda bahwa kami harus menyudahi permainan basket di lapangan rumah Wardhana. Aku tersenyum, senyum ini ibarat penghiburan. Rindu rasanya bermain basket seperti dulu lagi tapi ku rasa keadaan tidak lagi bisa seperti dulu. Masa lalu biarlah menjadi kenangan yang akan membuat kita lebih berharga di masa sekarang.
Kayuhanku terhenti pada satu titik, ku lihat seorang pemuda yang biasa ku lihat setiap pagi di sebuah apotek. Aku menghampirinya "Dirgaaaa..".
Ku parkirkan sepedaku lalu menghampirinya..
"Kamu sakit?"
"Masuk angin kayaknya" ia tertawa.
"Kok ketawa? emang ada yang lucu?" tanyaku lagi.
"Mbak yang lucu" tatap ku heran.
"Ohh.. enggak mbak. Maksudnya ini penyakit orang kampung biasa masuk angin gitu" ia tertawa lagi.
"Ahh nyesel saya nyamperin kamu, yaudah cepet sembuh ya biar saya gak perlu beli susu ke supermarket sore-sore begini"
"Mbak mau ke supermarket? ayo saya antar?"
"Kamu mau nganterin saya? kamu katanya sakit?"
"Udah sembuh"
"Dirga kamu mau becandain saya ya? oh iya sepeda kamu mana? kok kayaknya saya gak liat sepeda biru kamu?"
"Biru udah gak ada mbak, kalau gitu saya pamit ya mbak" Dirga berjalan ia tak lagi menggunakan sepedanya.
Aku hanya memandanginya sepanjang ia berjalan sesaat aku lupa dengan tugasku untuk membeli susu.
Sesampainya dirumah aku memberitahu ibu kalau aku bertemu Dirga ketika perjalanan ke supermarket. Aku menceritakan kalau Dirga bilang sepedanya sudah tidak ada. "Kamu kangen kalau Dirga gak ada sepeda trus dia gak bisa nganter susu ke sini?" tanya ibu sambil membereskan bahan-bahan yang baru aku beli tadi. "Bukannya gitu bu tapi kan kasian kalau dia harus gak kerja, malah katanya dia juga lagi sakit" jawabku.
"Yasudah besok lagi kita tunggu Dirga sekarang kamu mandi terus bantuin ibu nih bikin macaroni, pesenan buat nanti malem"
"Nanti malem? siapa yang pesen bu?"
"Bu Ana yang pesenin tapi buat temen anaknya katanya, nanti malem orangnya kesini"
***
Suara bel pintu....
Jam menunjukkan pukul 22:00 mungkin orang yang akan mengambil pesanan macaroni schottel. Semua pesanan sudah siap tapi yang jadi pertanyaan mengapa ada orang yang memesan untuk dimakan malam-malam sekali?.
Ku bukakan pintu..
Dari bawah pria ini memakai sepatu converse berwarna abu-abu dengan jeans dan memakai jaket berwarna coklat. Seketika ku lihat wajahnya "Loohh?". "Kenapa kok kaget banget? gue bukan penagih utang" reaksinya santai.
"Buu nih orang yang mau ambil macaroninya udah dateng" ku tinggalkan ia yang masih berdiri di depan pintu.
Ku teruskan membaca majalah sambil memakan keripik kentang yang tersedia di meja ruang tengah. Ia masih terus berdiri sambil membunyikan kakinya ke lantai. "Ada tamu nih lo gak mempersilahkan gue duduk gitu?".
"Ehhh ini pasti nak Adit yang mau ngambil macaroni itu yaah?" ibu yang sedari tadi sedang shalat langsung menemui lelaki yang baru ku ketahui namanya adalah Adit. Aku terdiam seperti De-javu mendengar nama itu.
"Ini pesanannya, dua kan?" ibu memberikan macaroni yang telah di tempatkan rapi. "Iya bu terima kasih ya ini uangnya" ia memberikan uang. "Iya sama-sama ya nak Adit kalau ada rasa yang kurang-kurang nanti boleh disampein ya". "Saya cobain dulu deh tapi kalau dari harumnya si enak kayaknya bu".
"Oh iya bu, saya mau ketemu sama anak ibu itu siapa namanya?" ia berbisik pada ibu. "Ohh..Rara" jawab ibu. "Ahh iyaa, boleh bu?" bisiknya lagi. "Kamu kenal sama Rara?". "Belum mangkanya ini baru mau kenalan" ujarnya.
Ibu menghampiriku yang masih asik membaca majalah "dia mau kenalan sama kamu katanya". Setelah menyampaikan ibu segera masuk ke dalam. "Rumah lo disini ternyata, dunia sempit banget" perlahan lelaki itu memasuk rumahku. "Gak ada yang nyuruh lo masuk" aku coba menghalangi langkah kakinya. Kemudian ia duduk di sebelahku "Gue Adit" ia menjulurkan tangannya.
Aku menatapnya dalam-dalam ketika ia menyebutkan namanya. "Woii bengong, kebiasaan lo suka ngeliatin gue begitu hati-hati ntar naksir". Aku melemparkan bantal ke arahnya "Rese banget sih bikin kaget aja, gue..". "Biar gue tebak nama lo Rara kan?" ia mendekatkan kepalanya ke arahku. Aku tak bergeming "dari mana lo tau, lo bukan dukun kan?". "Santai muka lo gak usah culun begitu, tadi gue nanya nyokap lo waktu di depan pintu tadi" jelasnya.
"Temenin gue didepan situ dong, gue liat tadi ada bangku taman gitu viewnya asik" ia menarik ke arah taman. Adit menaruh macaroni yang ia pesan dari ibu kemudian membuka keduanya. Aku tak mengerti pikiran lelaki ini, ia memesan dua macaroni tapi kenapa ia buka disini. "Temenin gue makan ini" ia memberikan sendok yang memang sudah ada dalam kotak macaroni yang dibuat ibu. "Apaa? lo gila kali ya gue yang bikin itu juga tadi , masa gue makan juga".
"Apa bedanya?"
"Ya kalau gue bikin buat sendiri ya pasti gue makan, tapi kan tadi buatnya emang buat pesenan pelanggan"
"Yaudah sederhanain aja, anggap gue temen lo yang ngajak lo buat makan macaroni ini bareng dan lo ga tau kalau macaroni ini ibu lo yang buat, beres. Sekarang makan".
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Cerita ini adalah sebuah lanjutan dari cerita yang pernah saya buat. Jika kalian ingin membacanya ada tiga cerita sebelumnya yang saya tulis, bisa lihat di sini :
" Rara "
" Surat yang Aku Baca "
" Nomor Punggung 8 "
Selamat membaca...
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Cerita ini adalah sebuah lanjutan dari cerita yang pernah saya buat. Jika kalian ingin membacanya ada tiga cerita sebelumnya yang saya tulis, bisa lihat di sini :
" Rara "
" Surat yang Aku Baca "
" Nomor Punggung 8 "
Selamat membaca...
Subscribe to:
Posts (Atom)